Nama: Vanya Dwi Pranadipta
Kelas: 2sa01
NPM: 17611247
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Pengenalan Dasar UKM
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai peran yang strategis dalam
pembangunan ekonomi nasional, oleh karena selain berperan dalam
pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam
pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Dalam krisis ekonomi yang
terjadi di negara kita sejak beberapa waktu yang lalu, dimana banyak
usaha berskala besar yang mengalami stagnasi bahkan berhenti
aktifitasnya, sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terbukti lebih
tangguh dalam menghadapi krisis tersebut. Mengingat pengalaman yang
telah dihadapi oleh Indonesia selama krisis, kiranya tidak berlebihan
apabila pengembangan sektor swasta difokuskan pada UKM, terlebih lagi
unit usaha ini seringkali terabaikan hanya karena hasil produksinya
dalam skala kecil dan belum mampu bersaing dengan unit usaha lainnya.
Pengembangan UKM perlu mendapatkan perhatian yang besar baik dari
pemerintah maupun masyarakat agar dapat berkembang lebih kompetitif
bersama pelaku ekonomi lainnya. Kebijakan pemerintah ke depan perlu
diupayakan lebih kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya UKM. Pemerintah
perlu meningkatkan perannya dalam memberdayakan UKM disamping
mengembangkan kemitraan usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha
besar dengan pengusaha kecil, dan meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusianya.
1.2 Pengembangan Sektor UKM
Pengembangan terhadap sektor swasta merupakan suatu hal yang tidak
diragukan lagi perlu untuk dilakukan. UKM memiliki peran penting dalam
pengembangan usaha di Indonesia. UKM juga merupakan cikal bakal dari
tumbuhnya usaha besar. “Hampir semua usaha besar berawal dari UKM. Usaha
kecil menengah (UKM) harus terus ditingkatkan (up grade) dan aktif agar
dapat maju dan bersaing dengan perusahaan besar. Jika tidak, UKM di
Indonesia yang merupakan jantung perekonomian Indonesia tidak akan bisa
maju dan berkembang. Satu hal yang perlu diingat dalam pengembangan UKM
adalah bahwa langkah ini tidak semata-mata merupakan langkah yang harus
diambil oleh Pemerintah dan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Pihak UKM sendiri sebagai pihak yang dikembangkan, dapat mengayunkan
langkah bersama-sama dengan Pemerintah. Selain Pemerintah dan UKM, peran
dari sektor Perbankan juga sangat penting terkait dengan segala hal
mengenai pendanaan, terutama dari sisi pemberian pinjaman atau penetapan
kebijakan perbankan. Lebih jauh lagi, terkait dengan ketersediaan dana
atau modal, peran dari para investor baik itu dari dalam maupun luar
negeri, tidak dapat pula kita kesampingkan.
Pemerintah pada intinya memiliki kewajiban untuk turut memecahkan tiga
hal masalah klasik yang kerap kali menerpa UKM, yakni akses pasar,
modal, dan teknologi yang selama ini kerap menjadi pembicaraan di
seminar atau konferensi. Secara keseluruhan, terdapat beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam melakukan pengembangan terhadap unit usaha UKM,
antara lain kondisi kerja, promosi usaha baru, akses informasi, akses
pembiayaan, akses pasar, peningkatan kualitas produk dan SDM,
ketersediaan layanan pengembangan usaha, pengembangan cluster, jaringan
bisnis, dan kompetisi.
Perlu disadari, UKM berada dalam suatu lingkungan yang kompleks dan
dinamis. Jadi, upaya mengembangkan UKM tidak banyak berarti bila tidak
mempertimbangkan pembangunan (khususnya ekonomi) lebih luas. Konsep
pembangunan yang dilaksanakan akan membentuk ‘aturan main’ bagi pelaku
usaha (termasuk UKM) sehingga upaya pengembangan UKM tidak hanya bisa
dilaksanakan secara parsial, melainkan harus terintegrasi dengan
pembangunan ekonomi nasional dan dilaksanakan secara berkesinambungan.
Kebijakan ekonomi (terutama pengembangan dunia usaha) yang ditempuh
selama ini belum menjadikan ikatan kuat bagi terciptanya keterkaitan
antara usaha besar dan UKM.
Saat ini, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah berencana untuk
menciptakan 20 juta usaha kecil menengah baru tahun 2020. Tahun 2020
adalah masa yang menjanjikan begitu banyak peluang karena di tahun
tersebut akan terwujud apa yang dimimpikan para pemimpin ASEAN yang
tertuang dalam Bali Concord II. Suatu komunitas ekonomi ASEAN, yang
peredaran produk-produk barang dan jasanya tidak lagi dibatasi batas
negara, akan terwujud. Kondisi ini membawa sisi positif sekaligus
negatif bagi UKM. Menjadi positif apabila produk dan jasa UKM mampu
bersaing dengan produk dan jasa dari negara-negara ASEAN lainnya, namun
akan menjadi negatif apabila sebaliknya. Untuk itu, kiranya penting bila
pemerintah mendesain program yang jelas dan tepat sasaran serta
mencanangkan penciptaan 20 juta UKM sebagai program nasional.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi UKM di Indonesia
Beberapa lembaga atau instansi bahkan UU memberikan definisi Usaha Kecil
Menengah (UKM), diantaranya adalah Kementrian Negara Koperasi dan Usaha
Kecil Menengah (Menegkop dan UKM), Badan Pusat Statistik (BPS),
Keputusan Menteri Keuangan No 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, dan
UU No. 20 Tahun 2008. Definisi UKM yang disampaikan berbeda-beda antara
satu dengan yang lainnya. Menurut Kementrian Menteri Negara Koperasi
dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM), bahwa yang dimaksud dengan
Usaha Kecil (UK), termasuk Usaha Mikro (UMI), adalah entitas usaha yang
mempunyai memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000, tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan tahunan
paling banyak Rp 1.000.000.000. Sementara itu, Usaha Menengah (UM)
merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia yang memiliki
kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 s.d. Rp 10.000.000.000,
tidak termasuk tanah dan bangunan.
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UKM berdasarkan
kunatitas tenaga kerja. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang
memiliki jumlah tenaga kerja 5 s.d 19 orang, sedangkan usaha menengah
merupakan entitias usaha yang memiliki tenaga kerja 20 s.d. 99 orang.
Berdasarkan Keputuasan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal
27 Juni 1994, usaha kecil didefinisikan sebagai perorangan atau badan
usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omset
per tahun setinggi-tingginya Rp 600.000.000 atau aset/aktiva
setinggi-tingginya Rp 600.000.000 (di luar tanah dan bangunan yang
ditempati) terdiri dari : (1) badang usaha (Fa, CV, PT, dan koperasi)
dan (2) perorangan (pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak,
nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa)
2.2 Definisi dan Kriteria UKM menurut Lembaga dan Negara Asing
Pada prinsipnya definisi dan kriteria UKM di negara-negara asing
didasarkan pada aspek-aspek sebagai berikut : (1) jumlah tenaga kerja,
(2) pendapatan dan (3) jumlah aset. Paparan berikut adalah
kriteria-kriteria UKM di negara-negara atau lembaga asing.
1. World Bank, membagi UKM ke dalam 3 jenis, yaitu :
• Medium Enterprise, dengan kriteria :
a) Jumlah karyawan maksimal 300 orang
b) Pendapatan setahun hingga sejumlah $ 15 juta
c) Jumlah aset hingga sejumlah $ 15 juta
• Micro Enterprise, dengan kriteria :
a) Jumlah karyawan kurang dari 30 orang
b) Pendapatan setahun tidak melebihi $ 3 juta
• Small Enterprise, dengan kriteria :
a) Jumlah karyawan kurang dari 10 orang
b) Pendapatan setahun tidak melebihi $ 100 ribu
c) Jumlah aset tidak melebihi $ 100 ribu
2. Singapura mendefinisikan UKM sebagai usaha yang memiliki minimal
30% pemegang saham lokal serta aset produktif tetap (fixed productive
asset) di bawah SG $ 15 juta.
3. Malaysia, menetapkan definisi UKM sebagai usaha yang memiliki
jumlah karyawan yang bekerja penuh (full time worker) kurang dari 75
orang atau yang modal pemegang sahamnya kurang dari M $ 2,5 juta.
Definisi ini dibagi menjadi dua, yaitu :
• Small Industry (SI), dengan kriteria jumlah karyawan 5 – 50 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu
• Medium Industry (MI), dengan kriteria jumlah karyawan 50 – 75 orang
atau jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu – M $ 2,5 juta.
4. Jepang, membagi UKM sebagai berikut :
• Mining and manufacturing, dengan kriteria jumah karyawan maksimal 300
orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah US$2,5 juta.
• Wholesale, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 840 ribu
• Retail, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 54 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 820 ribu
• Service, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 420 ribu
2.3 Klasifikasi UKM
Dalam perspektif perkembangannya, UKM dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok yaitu :
1. Livelihood Activities, merupakan UKM yang digunakan sebagai
kesempatan kerja untuk mencari nafkah, yang lebih umum dikenal sebagai
sektor informal. Contohya adalah pedagang kaki lima
2. Micro Enterprise, merupakan UKM yang memiliki sifat pengrajin tetapi belum memiliki sifat kewirausahaan
3. Small Dynamic Enterprise, merupakan UKM yang telah memiliki jiwa
kewirausahaan dan mampu menerima pekerjaan subkontrak dan ekspor
4. Fast Moving Enterprise, merupakam UKM yang telah memiliki jiwa
kewirausahaan dan akan melakukan transformasi menjadi Usaha Besar (UB)
2.4 Undang-Undang dan Peraturan Tentang UKM
Berikut ini adalah list beberapa UU dan Peraturan tentang UKM :
1. UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
2. PP No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan
3. PP No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil
4. Inpres No. 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah
5. Keppres No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang
Dicadangkan Untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk
Usaha Menengah atau Besar Dengan Syarat Kemitraan
6. Keppres No. 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah
7. Permenneg BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan
Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan
8. Permenneg BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara
9. Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
2.5 Kinerja UKM di Indonesia
UKM di negara berkembang, seperti di Indonesia, sering dikaitkan dengan
masalah-masalah ekonomi dan sosial dalam negeri seperti tingginya
tingkat kemiskinan, besarnya jumlah pengangguran, ketimpangan distribusi
pendapatan, proses pembangunan yang tidak merata antara daerah
perkotaan dan perdesaan, serta masalah urbanisasi. Perkembangan UKM
diharapkan dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan terhadap
upaya-upaya penanggulangan masalah-masalah tersebut di atas.
Karakteristik UKM di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh AKATIGA, the Center for Micro and Small Enterprise Dynamic
(CEMSED), dan the Center for Economic and Social Studies (CESS) pada
tahun 2000, adalah mempunyai daya tahan untuk hidup dan mempunyai
kemampuan untuk meningkatkan kinerjanya selama krisis ekonomi. Hal ini
disebabkan oleh fleksibilitas UKM dalam melakukan penyesuaian proses
produksinya, mampu berkembang dengan modal sendiri, mampu mengembalikan
pinjaman dengan bunga tinggi dan tidak terlalu terlibat dalam hal
birokrasi.
UKM di Indonesia dapat bertahan di masa krisis ekonomi disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu :
1. Sebagian UKM menghasilkan barang-barang konsumsi (consumer goods), khususnya yang tidak tahan lama,
2. Mayoritas UKM lebih mengandalkan pada non-banking financing dalam aspek pendanaan usaha,
3. Pada umumnya UKM melakukan spesialisasi produk yang ketat, dalam
arti hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja, dan
4. Terbentuknya UKM baru sebagai akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal.
UKM di Indonesia mempunyai peranan yang penting sebagai penopang
perekonomian. Penggerak utama perekonomian di Indonesia selama ini pada
dasarnya adalah sektor UKM.
Kinerja UKM di Indonesia dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu :
1. Nilai Tambah
Kinerja perekonomian Indonesia yang diciptakan oleh UKM tahun 2006 bila
dibandingkan tahun sebelumnya digambarkan dalam angka Produk Domestik
Bruto (PDB) UKM pertumbuhannya mencapai 5,4 persen. Nilai PDB UKM atas
dasar harga berlaku mencapai Rp 1.778,7 triliun meningkat sebesar Rp
287,7 triliun dari tahun 2005 yang nilainya sebesar 1.491,2 triliun. UKM
memberikan kontribusi 53,3 persen dari total PDB Indonesia. Bilai
dirinci menurut skala usaha, pada tahun 2006 kontribusi Usaha Kecil
sebesar 37,7 persen, Usaha Menengah sebesar 15,6 persen, dan Usaha Besar
sebesar 46,7 persen.
2. Unit Usaha dan Tenaga Kerja
Pada tahun 2006 jumlah populasi UKM mencapai 48,9 juta unit usaha atau
99,98 persen terhadap total unit usaha di Indonesia. Sementara jumlah
tenaga kerjanya mencapai 85,4 juta orang.
3. Ekspor UKM
Hasil produksi UKM yang diekspor ke luar negeri mengalami peningkatan
dari Rp 110,3 triliun pada tahun 2005 menjadi 122,2 triliun pada tahun
2006. Namun demikian peranannya terhadap total ekspor non migas nasional
sedikit menurun dari 20,3 persen pada tahun 2005 menjadi 20,1 persen
pada tahun 2006.
2.6 Kemitraan Usaha dan Masalahnya
Dalam menghadapi persaingan di abad ke-21, UKM dituntut untuk melakukan
restrukturisasi dan reorganisasi dengan tujuan untuk memenuhi permintaan
konsumen yang makin spesifik, berubah dengan cepat, produk berkualitas
tinggi, dan harga yang murah . Salah satu upaya yang dapat dilakukan UKM
adalah melalui hubungan kerjasama dengan Usaha Besar (UB). Kesadaran
akan kerjasama ini telah melahirkan konsep supply chain management (SCM)
pada tahun 1990-an. Supply chain pada dasarnya merupakan jaringan
perusahaan-perusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan
dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir. Pentingnya
persahabatan, kesetiaan, dan rasa saling percaya antara industri yang
satu dengan lainnya untuk menciptakan ruang pasar tanpa pesaing, yang
kemudian memunculkan konsep blue ocean strategy.
Kerjasama antara perusahaan di Indonesia, dalam hal ini antara UKM dan
UB, dikenal dengan istilah kemitraan (Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun
1997 tentang Kemitraan). Kemitraan tersebut harus disertai pembinaan UB
terhadap UKM yang memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling
memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemitraan merupakan suatu strategi
bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu
tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling
membutuhkan dan saling membesarkan. Kemitraan merupakan suatu rangkaian
proses yang dimulai dengan mengenal calon mitranya, mengetahui posisi
keunggulan dan kelemahan usahanya, memulai membangun strategi,
melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi sampai target tercapai.
Pola kemitraan antara UKM dan UB di Indonesia yang telah dibakukan,
menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan PP No. 44 Tahun 1997
tentang kemitraan, terdiri atas 5 (lima) pola, yaitu :
(1).Inti Plasma, (2).Subkontrak, (3).Dagang Umum, (4).Keagenan, dan (5).Waralaba.
Pola pertama, yaitu inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara UKM
dan UB sebagai inti membina dan mengembangkan UKM yang menjadi plasmanya
dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian
bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan
peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan
produktivitas usaha. Dalam hal ini, UB mempunyai tanggung jawab sosial
(corporate social responsibility) untuk membina dan mengembangkan UKM
sebagai mitra usaha untuk jangka panjang.
Pola kedua, yaitu subkontrak merupakan hubungan kemitraan UKM dan UB,
yang didalamnya UKM memproduksi komponen yang diperlukan oleh UB sebagai
bagian dari produksinya. Subkontrak sebagai suatu sistem yang
menggambarkan hubungan antara UB dan UKM, di mana UB sebagai perusahaan
induk (parent firma) meminta kepada UKM selaku subkontraktor untuk
mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung
jawab penuh pada perusahaan induk. Selain itu, dalam pola ini UB
memberikan bantuan berupa kesempatan perolehan bahan baku, bimbingan dan
kemampuan teknis produksi, penguasaan teknologi, dan pembiayaan.
Pola ketiga, yaitu dagang umum merupakan hubungan kemitraan UKM dan UB,
yang di dalamnya UB memasarkan hasil produksi UKM atau UKM memasok
kebutuhan yang diperlukan oleh UB sebagai mitranya. Dalam pola ini UB
memasarkan produk atau menerima pasokan dari UKM untuk memenuhi
kebutuhan yang diperlukan oleh UB.
Pola keempat, yaitu keagenan merupakan hubungan kemitraan antara UKM dan
UB, yang di dalamnya UKM diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan
jasa UB sebagai mitranya. Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan, di
mana pihak prinsipal memproduksi atau memiliki sesuatu, sedangkan pihak
lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut
dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan pihak ketiga.
Pola kelima, yaitu waralaba merupakan hubungan kemitraan, yang di
dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek
dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba
dengan disertai bantuan bimbingan manajemen. Dalam pola ini UB yang
bertindak sebagai pemberi waralaba menyediakan penjaminan yang diajukan
oleh UKM sebagai penerima waralaba kepada pihak ketiga.
Kemitraan dengan UB begitu penting buat pengembangan UKM. Kunci
keberhasilan UKM dalam persaingan baik di pasar domestik maupun pasar
global adalah membangun kemitraan dengan perusahaan-perusahaan yang
besar. Pengembangan UKM memang dianggap sulit dilakukan tanpa melibatkan
partisipasi usaha-usaha besar. Dengan kemitraan UKM dapat melakukan
ekspor melalui perusahaan besar yang sudah menjadi eksportir, baru
setelah merasa kuat dapat melakukan ekspor sendiri. Disamping itu,
kemitraan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kesenjangan antara
UKM dan UB. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tumbuh kembangnya
UKM di Indonesia tidak terlepas dari fungsinya sebagai mitra dari UB
yang terikat dalam suatu pola kemitraan usaha.
Manfaat yang dapat diperoleh bagi UKM dan UB yang melakukan kemitraan
diantaranya adalah Pertama, dari sudut pandang ekonomi, kemitraan usaha
menuntut efisiensi, produktivitas, peningkatan kualitas produk, menekan
biaya produksi, mencegah fluktuasi suplai, menekan biaya penelitian dan
pengembangan, dan meningkatkan daya saing. Kedua, dari sudut moral,
kemitraan usaha menunjukkan upaya kebersamaan dam kesetaraan. Ketiga,
dari sudut pandang soial-politik, kemitraan usaha dapat mencegah
kesenjangan sosial, kecemburuan sosial, dan gejolah sosial-politik.
Kemanfaatan ini dapat dicapai sepanjang kemitraan yang dilakukan
didasarkan pada prinsip saling memperkuat, memerlukan, dan
menguntungkan.
Keberhasilan kemitraan usaha sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di
antara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnisnya. Pelaku-pelaku
yang terlibat langsung dalam kemitraan harus memiliki dasar-dasar etikan
bisnis yang dipahami dan dianut bersama sebagai titik tolak dalam
menjalankan kemitraan.
Menurut Keraf (1995) etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional
mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap
dan pola perilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai
kelompok. Dengan demikian, keberhasilan kemitraan usaha tergantung pada
adanya kesamaan nilai, norma, sikap, dan perilaku dari para pelaku yang
menjalankan kemitraan tersebut.
2.7 Permasalahan yang Dihadapi UKM
Pada umumnya, permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM), antara lain meliputi:
• Faktor Internal
1. Kurangnya Permodalan dan Terbatasnya Akses Pembiayaan
Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan
suatu unit usaha. Kurangnya permodalan UKM, oleh karena pada umumnya
usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang
sifatnya tertutup, yang mengandalkan modal dari si pemilik yang
jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau
lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh karena persyaratan secara
administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi.
Persyaratan yang menjadi hambatan terbesar bagi UKM adalah adanya
ketentuan mengenai agunan karena tidak semua UKM memiliki harta yang
memadai dan cukup untuk dijadikan agunan.
2. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha
keluarga yang turun temurun. Keterbatasan kualitas SDM usaha kecil baik
dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya
sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga
usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu
dengan keterbatasan kualitas SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit
untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya
saing produk yang dihasilkannya.
3. Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar
Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai
jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang
rendah, ditambah lagi produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas
dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha
besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung
dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang
baik.
4. Mentalitas Pengusaha UKM
Hal penting yang seringkali pula terlupakan dalam setiap pembahasan
mengenai UKM, yaitu semangat entrepreneurship para pengusaha UKM itu
sendiri.[17] Semangat yang dimaksud disini, antara lain kesediaan terus
berinovasi, ulet tanpa menyerah, mau berkorban serta semangat ingin
mengambil risiko.[18] Suasana pedesaan yang menjadi latar belakang dari
UKM seringkali memiliki andil juga dalam membentuk kinerja. Sebagai
contoh, ritme kerja UKM di daerah berjalan dengan santai dan kurang
aktif sehingga seringkali menjadi penyebab hilangnya
kesempatan-kesempatan yang ada.
5. Kurangnya Transparansi
Kurangnya transparansi antara generasi awal pembangun UKM tersebut
terhadap generasi selanjutnya. Banyak informasi dan jaringan yang
disembunyikan dan tidak diberitahukan kepada pihak yang selanjutnya
menjalankan usaha tersebut sehingga hal ini menimbulkan kesulitan bagi
generasi penerus dalam mengembangkan usahanya.
• Faktor Eksternal
1. Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif
Upaya pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari tahun ke tahun
selalu dimonitor dan dievaluasi perkembangannya dalam hal kontribusinya
terhadap penciptaan produk domestik brutto (PDB), penyerapan tenaga
kerja, ekspor dan perkembangan pelaku usahanya serta keberadaan
investasi usaha kecil dan menengah melalui pembentukan modal tetap
brutto (investasi).[19] Keseluruhan indikator ekonomi makro tersebut
selalu dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan pemberdayaan UKM serta
menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan kebijakan yang telah
dilaksanakan pada tahun sebelumnya.
Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuhkembangkan UKM, meskipun dari
tahun ke tahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya
kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang
kurang sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dan menengah dengan
pengusaha-pengusaha besar.
Kendala lain yang dihadapi oleh UKM adalah mendapatkan perijinan untuk
menjalankan usaha mereka. Keluhan yang seringkali terdengar mengenai
banyaknya prosedur yang harus diikuti dengan biaya yang tidak murah,
ditambah lagi dengan jangka waktu yang lama. Hal ini sedikit banyak
terkait dengan kebijakan perekonomian Pemerintah yang dinilai tidak
memihak pihak kecil seperti UKM tetapi lebih mengakomodir kepentingan
dari para pengusaha besar.
2. Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga
tidak cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya
sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, tak jarang UKM kesulitan dalam
memperoleh tempat untuk menjalankan usahanya yang disebabkan karena
mahalnya harga sewa atau tempat yang ada kurang strategis.
3. Pungutan Liar
Praktek pungutan tidak resmi atau lebih dikenal dengan pungutan liar
menjadi salah satu kendala juga bagi UKM karena menambah pengeluaran
yang tidak sedikit. Hal ini tidak hanya terjadi sekali namun dapat
berulang kali secara periodik, misalnya setiap minggu atau setiap bulan.
4. Implikasi Otonomi Daerah
Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan
daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat
setempat. Perubahan sistem ini akan mempunyai implikasi terhadap pelaku
bisnis kecil dan menengah berupa pungutan-pungutan baru yang dikenakan
pada UKM. Jika kondisi ini tidak segera dibenahi maka akan menurunkan
daya saing UKM. Disamping itu, semangat kedaerahan yang berlebihan,
kadang menciptakan kondisi yang kurang menarik bagi pengusaha luar
daerah untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut.
5. Implikasi Perdagangan Bebas
Sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku Tahun 2003 dan APEC
Tahun 2020 berimplikasi luas terhadap usaha kecil dan menengah untuk
bersaing dalam perdagangan bebas. Dalam hal ini, mau tidak mau UKM
dituntut untuk melakukan proses produksi dengan produktif dan efisien,
serta dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan frekuensi pasar
global dengan standar kualitas seperti isu kualitas (ISO 9000), isu
lingkungan (ISO 14.000), dan isu Hak Asasi Manusia (HAM) serta isu
ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan secara tidak fair oleh negara
maju sebagai hambatan (Non Tariff Barrier for Trade). Untuk itu, UKM
perlu mempersiapkan diri agar mampu bersaing baik secara keunggulan
komparatif maupun keunggulan kompetitif.
6. Sifat Produk dengan Ketahanan Pendek
Sebagian besar produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik
sebagai produk-produk dan kerajinan-kerajian dengan ketahanan yang
pendek. Dengan kata lain, produk-produk yang dihasilkan UKM Indonesia
mudah rusak dan tidak tahan lama.
7. Terbatasnya Akses Pasar
Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak
dapat dipasarkan secara kompetitif baik di pasar nasional maupun
internasional.
8. Terbatasnya Akses Informasi
Selain akses pembiayaan, UKM juga menemui kesulitan dalam hal akses
terhadap informasi. Minimnya informasi yang diketahui oleh UKM, sedikit
banyak memberikan pengaruh terhadap kompetisi dari produk ataupun jasa
dari unit usaha UKM dengan produk lain dalam hal kualitas. Efek dari hal
ini adalah tidak mampunya produk dan jasa sebagai hasil dari UKM untuk
menembus pasar ekspor. Namun, di sisi lain, terdapat pula produk atau
jasa yang berpotensial untuk bertarung di pasar internasional karena
tidak memiliki jalur ataupun akses terhadap pasar tersebut, pada
akhirnya hanya beredar di pasar domestik.
2.8 Langkah Penanggulangan Masalah
Dengan mencermati permasalahan yang dihadapi oleh UKM dan
langkah-langkah yang selama ini telah ditempuh, maka kedepannya, perlu
diupayakan hal-hal sebagai berikut:
1. Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif
Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif antara
lain dengan mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha serta
penyederhanaan prosedur perijinan usaha, keringanan pajak dan
sebagainya.
2. Bantuan Permodalan
Pemerintah perlu memperluas skema kredit khusus dengan syarat-syarat
yang tidak memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan
permodalannya, baik itu melalui sektor jasa finansial formal, sektor
jasa finansial informal, skema penjaminan, leasing dan dana modal
ventura. Pembiayaan untuk UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan
Mikro (LKM) yang ada maupun non bank. Lembaga Keuangan Mikro bank antara
Lain: BRI unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
3. Perlindungan Usaha
Jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang
merupakan usaha golongan ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan
dari pemerintah, baik itu melalui undang-undang maupun peraturan
pemerintah yang bermuara kepada saling menguntungkan (win-win solution).
4. Pengembangan Kemitraan
Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu antar UKM, atau antara
UKM dengan pengusaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk
menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha. Selain itu, juga untuk
memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien.
Dengan demikian, UKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan
pelaku bisnis lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai peran yang strategis dalam
pembangunan ekonomi nasional, oleh karena selain berperan dalam
pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam
pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Dalam krisis ekonomi yang
terjadi di negara kita sejak beberapa waktu yang lalu, dimana banyak
usaha berskala besar yang mengalami stagnasi bahkan berhenti
aktifitasnya, sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terbukti lebih
tangguh dalam menghadapi krisis tersebut. Mengingat pengalaman yang
telah dihadapi oleh Indonesia selama krisis, kiranya tidak berlebihan
apabila pengembangan sektor swasta difokuskan pada UKM, terlebih lagi
unit usaha ini seringkali terabaikan hanya karena hasil produksinya
dalam skala kecil dan belum mampu bersaing dengan unit usaha lainnya.
Pengembangan UKM perlu mendapatkan perhatian yang besar baik dari
pemerintah maupun masyarakat agar dapat berkembang lebih kompetitif
bersama pelaku ekonomi lainnya. Kebijakan pemerintah ke depan perlu
diupayakan lebih kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya UKM. Pemerintah
perlu meningkatkan perannya dalam memberdayakan UKM disamping
mengembangkan kemitraan usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha
besar dengan pengusaha kecil, dan meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusianya.
Pengembangan terhadap sektor swasta merupakan suatu hal yang tidak
diragukan lagi perlu untuk dilakukan. UKM memiliki peran penting dalam
pengembangan usaha di Indonesia. UKM juga merupakan cikal bakal dari
tumbuhnya usaha besar. “Hampir semua usaha besar berawal dari UKM. Usaha
kecil menengah (UKM) harus terus ditingkatkan (up grade) dan aktif agar
dapat maju dan bersaing dengan perusahaan besar. Jika tidak, UKM di
Indonesia yang merupakan jantung perekonomian Indonesia tidak akan bisa
maju dan berkembang. Satu hal yang perlu diingat dalam pengembangan UKM
adalah bahwa langkah ini tidak semata-mata merupakan langkah yang harus
diambil oleh Pemerintah dan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Pihak UKM sendiri sebagai pihak yang dikembangkan, dapat mengayunkan
langkah bersama-sama dengan Pemerintah. Selain Pemerintah dan UKM, peran
dari sektor Perbankan juga sangat penting terkait dengan segala hal
mengenai pendanaan, terutama dari sisi pemberian pinjaman atau penetapan
kebijakan perbankan. Lebih jauh lagi, terkait dengan ketersediaan dana
atau modal, peran dari para investor baik itu dari dalam maupun luar
negeri, tidak dapat pula kita kesampingkan.
Pemerintah pada intinya memiliki kewajiban untuk turut memecahkan tiga
hal masalah klasik yang kerap kali menerpa UKM, yakni akses pasar,
modal, dan teknologi yang selama ini kerap menjadi pembicaraan di
seminar atau konferensi. Secara keseluruhan, terdapat beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam melakukan pengembangan terhadap unit usaha UKM,
antara lain kondisi kerja, promosi usaha baru, akses informasi, akses
pembiayaan, akses pasar, peningkatan kualitas produk dan SDM,
ketersediaan layanan pengembangan usaha, pengembangan cluster, jaringan
bisnis, dan kompetisi.
Perlu disadari, UKM berada dalam suatu lingkungan yang kompleks dan
dinamis. Jadi, upaya mengembangkan UKM tidak banyak berarti bila tidak
mempertimbangkan pembangunan (khususnya ekonomi) lebih luas. Konsep
pembangunan yang dilaksanakan akan membentuk ‘aturan main’ bagi pelaku
usaha (termasuk UKM) sehingga upaya pengembangan UKM tidak hanya bisa
dilaksanakan secara parsial, melainkan harus terintegrasi dengan
pembangunan ekonomi nasional dan dilaksanakan secara berkesinambungan.
Kebijakan ekonomi (terutama pengembangan dunia usaha) yang ditempuh
selama ini belum menjadikan ikatan kuat bagi terciptanya keterkaitan
antara usaha besar dan UKM.
Saat ini, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah berencana untuk
menciptakan 20 juta usaha kecil menengah baru tahun 2020. Tahun 2020
adalah masa yang menjanjikan begitu banyak peluang karena di tahun
tersebut akan terwujud apa yang dimimpikan para pemimpin ASEAN yang
tertuang dalam Bali Concord II. Suatu komunitas ekonomi ASEAN, yang
peredaran produk-produk barang dan jasanya tidak lagi dibatasi batas
negara, akan terwujud. Kondisi ini membawa sisi positif sekaligus
negatif bagi UKM. Menjadi positif apabila produk dan jasa UKM mampu
bersaing dengan produk dan jasa dari negara-negara ASEAN lainnya, namun
akan menjadi negatif apabila sebaliknya. Untuk itu, kiranya penting bila
pemerintah mendesain program yang jelas dan tepat sasaran serta
mencanangkan penciptaan 20 juta UKM sebagai program nasional.
SUMBER : http://cynthiaprimadita.blogspot.com/2011/04/makalah-usaha-kecil-menengah.html